Tanggal :
11 Agustus 2014
Nama
: Della Anggi (08) / Melati Amalia G.H (09)
Seragam
Lelaki
jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali
saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang
tiba-tiba.
Ketika
kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia
pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada
pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat
mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat
hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia
butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia
adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah
karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar
pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten.
Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum
pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi,
apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu!
Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu
kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya
tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan
meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu
dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu.
Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di
ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang
diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh
lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam
itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang
ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya
jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok.
Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan
besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang
perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin
sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah
percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir
setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan
kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai
belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya
langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun
melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke
sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh
nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak,
lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang.
Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang,
Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat
saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak
ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu
hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan
terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki
banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya
untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,”
jawabnya.
Sambil
menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu
berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter
setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan,
terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami.
Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap
yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi
aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami
turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa
menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang
terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan
antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya
berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara
retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup
dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak
memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya
belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor
jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat
wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi
sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah
membakar punggung saya!
”Berguling!
Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk
dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya
rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang
menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus
pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat
luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang
saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi
teror yang mencekam!
Ketika
akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian
kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi
tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil
antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba
membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat
dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar
saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas
punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang.
Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti
memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang
didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah
yang murka.
Saya
langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang
melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah
terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah
itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa
kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli
gantinya.
”Salahmu
sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu
saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku
tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih
memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami
tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang
akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian
meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia
lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat
kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah
gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan
terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah
yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah
dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku
itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua
dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?”
Dia mengangguk.
”Kau
tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling
berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal
usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi,
dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku.
Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya
dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan
kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan
adik satu-satunya.
”Kami
akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore.
Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang
perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik
itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya.
Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong
saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung
jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata
saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum
bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai
persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia
tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi
pengosongan tanah dan rumahnya.
KETERANGAN :
a. Pengenalan
situasi cerita (exposition)
Dalam
bagian ini pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan menjelaskan
hubungan antartokoh.
b. Pengungkapan
peristiwa (complication)
Dalam
bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah,
pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
c. Puncak
Konflik (turning point)
Bagian ini disebut pula sebagai
klimaks. Inilah bagian cerita yang
paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukan
perubahan nasib beberapa tokoh Misalnya, apakah dia berhasil menyelesaikan
masalahnya atau gagal
d. Ketegangan menurun (antiklimaks)
masalah telah berangsur – angsur dapat diatasi
dan kekhawatiran mulai hilang.
e. Penyelesaian (ending)
Sebagai akhir
cerita, bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya
setelah mengalami peristiwa puncak itu. Ada pula cerpen yang penyelesaian
akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir ceritanya
dibiarkan menggantung tanpa ada penyelesaian.
No comments:
Post a Comment